Lompat ke isi

Iganyana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Iganyana
Rentang waktu: Pleistosen Tengah – sekarang (200,000-saat ini)[1]
Seekor iganyana
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Domain: Eukaryota
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Carnivora
Famili: Canidae
Subfamili: Caninae
Tribus: Canini
Genus: Lycaon
Spesies:
L. pictus
Nama binomial
Lycaon pictus
(Temminck, 1820)[3]
Persebaran iganyana menurut IUCN
  Masih ada
  Kemungkinan masih ada

Iganyana (Lycaon pictus),[a] yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai African wild dog atau Painted wolf, adalah hewan liar dari subfamili caninae yang berasal dari kawasan Afrika Sub-Sahara. Sebagai canine terbesar di Afrika, iganyana merupakan satu-satunya spesies yang masih ada dalam genus Lycaon. Genus ini dapat dibedakan dari genus Canis melalui struktur gigi dan kuku mereka. Gigi iganyana dirancang khusus untuk mendukung pola makan hiperkarnivor, sedangkan pada bagian kaki, mereka hanya memiliki empat kuku (tak ada dewclaw).

Meski nama dalam bahasa Inggris "African wild dog" dapat diterjemahkan sebagai "Anjing liar afrika", sementara nama "Painted Wolf" diterjemahkan menjadi "Serigala belang", nyatanya iganyana bukanlah anjing ataupun serigala. Mereka sebenarnya hanya termasuk dalam keluarga yang sama, yaitu famili Canidae.[4]

Saat ini, diperkirakan populasi iganyana mencapai sekitar 6. 600 ekor, dengan 1. 400 di antaranya adalah hewan dewasa yang tersebar di 39 subpopulasi. Setiap subpopulasi ini menghadapi ancaman serius akibat fragmentasi habitat, penganiayaan oleh manusia, serta wabah penyakit. Dengan subpopulasi terbesar yang terdiri dari kurang dari 250 ekor, iganyana telah dikategorikan sebagai spesies terancam punah dalam Daftar Merah IUCN sejak tahun 1990.

Iganyana adalah pemburu ulung yang khusus menangkap ungulata terestrial. Mereka umumnya berburu pada waktu fajar dan senja, meskipun tidak jarang juga diurnal (aktif di siang hari). Dalam berburu, iganyana memanfaatkan stamina dan kerjasama untuk mengelilingi dan menyudutkan mangsanya. Di alam, mereka memiliki pesaing seperti singa dan dubuk. Singa akan membunuh iganyana jika ada kesempatan, sementara dubuk sering kali bertindak sebagai kleptoparasit, mencuri hasil buruan mereka. Seperti halnya famili canidae lainnya, iganyana juga memuntahkan makanan untuk anak-anaknya. Hal ini tak hanya berlaku untuk anak-anak, mereka juga memberikan makanan yang telah dimuntahkan kepada anggota dewasa dalam kelompok sosial mereka. Meskipun demikian, anak-anak tetap diutamakan.

Iganyana termasuk hewan yang dihormati oleh masyarakat pemburu-pengumpul, terutama orang San, serta pada era Mesir prasejarah.

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Nama "iganyana" berasal dari kata "iganyana" (nama spesies ini di habitat alaminya). Kata ini dipinjam dari Bahasa Ndebele Utara (sebuah bahasa di Afrika yang dituturkan di Zimbabwe).[5][6]

Taksonomi dan evolusi

[sunting | sunting sumber]

Taksonomi

[sunting | sunting sumber]
Pohon filogenetik hewan-hewan dari subfamili Canidae berbentuk seperti serigala dalam rentang waktu jutaan tahun[b]
Caninae 3.5 Ma
3.0
2.5
2.0
0.96
0.6
0.38

Anjing

Serigala abu-abu

Koyote

Serigala afrika

Jakal emas

Serigala etiopia

Ajak

Iganyana

2.6

Jakal loreng-sisi

Jakal punggung-hitam

Sumber tertulis paling awal mengenai spesies ini berasal dari karya Oppian, yang menuliskan tentang thoa, sebuah hibrida antara serigala dan macan tutul. Hewan ini memiliki bentuk seperti serigala, namun dengan warna yang mirip dengan macan tutul. Dalam karyanya yang berjudul Memorabilium Collea rerum, Solinus dari abad ketiga Masehi juga menggambarkan hewan yang mirip serigala berwarna-warni dengan surai yang berasal dari Etiopia.[7]

Iganyana pertama kali dideskripsikan secara ilmiah pada tahun 1820 oleh Coenraad Jacob Temminck, setelah ia memeriksa spesimen yang ditemukan di pantai Mozambik. Temminck memberi nama spesies ini Hyaena picta.[3] Selanjutnya, pada tahun 1827, Joshua Brookes mengklasifikasikan kembali spesies ini sebagai bagian dari keluarga canidae dan mengganti nama ilmiahnya menjadi Lycaon tricolor. Akar kata "Lycaon" berasal dari bahasa Yunani λυκαίος (lykaios), yang berarti 'seperti serigala'. Sementara itu julukan "pictus" (bahasa Latin yang berarti 'dicat') berasal dari asal kata 'picta' yang menjadi 'pictus'. Ini disesuaikan dengan Aturan Internasional tentang Tata Nama Taksonomi. [8]

Ahli paleontologi George G. Simpson mengelompokkan iganyana, ajak, dan mbetapa ke dalam subfamili Simocyoninae berdasarkan kesamaan ketajaman gigi carnassial yang dimiliki oleh ketiga spesies tersebut. Namun, Juliet Clutton-Brock mengajukan argumen yang menentang pengelompokan ini. Ia menekankan bahwa selain kekhasan pada bentuk gigi, terdapat terlalu banyak perbedaan di antara ketiga spesies itu, sehingga seharusnya hewan-hewan ini tidak dikelompokkan kedalam satu subfamili.[9]

Penggambaran Xenocyon oleh Mauricio Antón yang kemungkinan nenek moyang genus Lycaon

Iganyana menunjukkan adaptasi yang paling khas di antara spesies canidae lainnya, baik dalam hal warna bulu, pola makan, maupun cara menangkap mangsa berkat kemampuan berlarinya. Dengan kerangka yang gesit dan tanpa adanya "dewclaw" pada kakinya, hewan ini mampu meningkatkan langkah dan kecepatannya. Adaptasi ini memungkinkan iganyana untuk mengejar mangsa di medan terbuka dalam jarak yang cukup jauh. Gigi pada hewan ini umumnya memiliki bentuk carnassial. Bagian premolarnya merupakan yang terbesar di antara semua karnivora yang ada saat ini, kecuali dubuk. Pada gigi carnassial bagian bawah (gigi geraham pertama bawah), talonid-nya telah mengalami evolusi menjadi pemotong daging yang tajam, disertai dengan pengurangan atau hilangnya molar post-carnassial. Adaptasi serupa juga ditemukan pada dua hewan hiperkarnivora lainnya yaitu ajak dan mbetapa. Iganyana memiliki variasi warna bulu yang paling beragam di antara mamalia lainnya. Setiap individu menunjukkan pola warna yang berbeda-beda, yang mengindikasikan adanya keragaman genetik yang mendasarinya. Tujuan dari pola bulu ini mungkin berkaitan dengan adaptasi dalam hal komunikasi, kamuflase, serta pengaturan suhu tubuh. Pada tahun 2019, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa garis keturunan lycaon bercabang dari Cuon dan Canis sekitar 1,7 juta tahun yang lalu. Proses ini terjadi melalui serangkaian adaptasi dan bertepatan dengan diversifikasi yang signifikan pada spesies ungulata besar, yang merupakan mangsa bagi lycaon. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa Iganyana sebagian besar terisolasi dari pertukaran gen dengan spesies canidae lainnya.[10][1] Proses evolusi iganyana masih kurang dipahami karena keterbatasan penemuan fosil hewan ini. Beberapa penulis berpendapat bahwa Xenocyon, yang merupakan subgenus dari canis yang telah punah, bisa jadi merupakan nenek moyang bagi genus Lycaon dan genus Cuon[11][12][13][14]:p149 yang hidup di berbagai belahan Eurasia dan Afrika mulai dari masa Pleistosen Awal hingga Pleistosen Tengah Awal. Namun, beberapa penulis yang memiliki pandangan berbeda mengusulkan agar "Xenocyon" diklasifikasikan kembali sebagai "Lycaon".[1] Spesies "Canis" ("Xenocyon") "falconeri" menunjukkan kemiripan dengan iganyana, terutama karena tidak memiliki metakarpal pertama (dewclaw). Meskipun demikian, struktur gigi Xenocyon relatif tidak khas.[1] Salah satu penulis menolak hubungan ini, berpendapat bahwa ketiadaan metakarpal pertama (dewclaw) pada C. (X. ) falconeri merupakan indikasi yang kurang meyakinkan untuk menyimpulkan kedekatan filogenetis spesies ini dengan iganyana, mengingat struktur giginya yang terlalu berbeda untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.[15]

Kandidat nenek moyang iganyana modern lainnya adalah iganyana plio-pleistosen (Lycaon sekowei) yang berasal dari Afrika Selatan. Hal ini didasarkan pada perbedaan aksesori kuspis gigi pada gigi premolar atas serta pada aksesori kuspis gigi di bagian anterior premolar bawah. Adaptasi ini hanya ditemukan pada genus Lycaon di antara canidae yang masih hidup, yang menunjukkan pola makan hiperkarnivora yang serupa. L. sekowei (iganyana pilo-pleistoesn) belum kehilangan metakarpal pertama seperti yang terjadi pada L. pictus dan memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan spesies modern. Selain itu, gigi iganyana pilo-pleistosen memiliki ukuran 10% lebih besar dibandingkan dengan iganyana yang ada saat ini.[15]

Pembastaran dengan ajak

[sunting | sunting sumber]
Fossil of Lycaon sekowei kemunginan merupakan nenek moyang iganyana yang masih ada

Iganyana memiliki 78 kromosom, jumlah yang sama dengan kromosom pada genus Canis. [16] Pada tahun 2018, dilakukan penelitian pengurutan keseluruhan genom untuk membandingkan ajak (Cuon alpinus) dengan iganyana. Hasil penelitian ini mengungkapkan adanya percampuran genetik purba antara kedua spesies tersebut. Saat ini, wilayah jelajah mereka terpisah cukup jauh, namun pada era Pleistosen, ajak dapat ditemukan hingga ke barat Eropa. Penelitian ini mengusulkan bahwa persebaran ajak bisa jadi pernah mencakup wilayah Timur Tengah, di mana kemungkinan terjadi pembastaran antara ajak dan iganyana di Afrika Utara. Walau begitu, hingga kini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ajak pernah hidup di Timur Tengah maupun Afrika Utara.[17]

Subspesies

[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah lima subspesies yang diakui oleh MSW3 pada tahun 2005:[18]

Meskipun spesies iganyana memiliki keragaman genetik yang luas, istilah subspesifik tersebut belum diterima secara universal. Iganyana Afrika Barat dan Iganyana Afrika Selatan dulunya dianggap memiliki perbedaan genetik berdasarkan sejumlah kecil sampel. Namun, penelitian terbaru dengan sampel yang lebih banyak menunjukkan adanya pembastaran alami pada masa lampau antara populasi Iganyana Afrika Timur dan Iganyana Afrika Selatan. Beberapa DNA inti dan alel DNA mitokondria yang unik telah diidentifikasi pada populasi di Afrika Selatan dan Afrika Timur Laut. Di antara kedua populasi ini terdapat zona transisi yang meliputi Botswana, Zimbabwe, dan bagian tenggara Tanzania. Populasi Iganyana di Afrika Barat mungkin memiliki haplotipe yang khas sehingga dapat dianggap sebagai subspesies yang benar-benar terpisah.[24] Di sisi lain, populasi asli iganyana yang ada di Ekosistem Serengeti dan Maasai Mara memiliki genotipe yang unik, meskipun ada kemungkinan genotipe tersebut telah punah.[25]

Foto seekor iganyana dari dekat di Taman Nasional Kruger
Tengkorak iganyana (kiri) dibandingkan dengan tengkorak serigala abu-abu (kanan) menunjukkan perbedaan yang mencolok. Perhatikan moncong iganyana yang lebih pendek serta jumlah gigi gerahamnya yang lebih sedikit.

Iganyana adalah canidae terbesar dan terkuat di antara semua canidae yang ada di Afrika.[26] Spesies ini dapat mencapai tinggi badan antara 60 hingga 75 cm (24 hingga 30 inci) jika diukur dari kaki hingga pundak. Panjang kepala dan tubuhnya berkisar antara 71 hingga 112 cm (28 hingga 44 inci), sementara panjang ekornya berada dalam rentang 29 hingga 41 cm (11 hingga 16 inci). Individu dewasa iganyana memiliki bobot badan antara 18 hingga 36 kg (40 hingga 79 lb), dengan rata-rata iganyana yang berasal dari Afrika Timur memiliki berat sekitar 20 hingga 25 kg (44 hingga 55 lb). Berdasarkan massa tubuh, iganyana hanya kalah dari massa tubuh spesies canidae lainnya yang masih ada, yaitu serigala abu-abu.[19][27][28] Secara umum, iganyana betina memiliki ukuran tubuh yang relatif 3-7% lebih kecil dari jantannya. Jika dibandingkan dengan anggota genus Canis, iganyana terlihat lebih ramping dan tinggi, dengan telinga yang besar serta tanpa adanya dewclaw. Dua jari kaki di bagian tengah biasanya menyatu. Struktur gigi iganyana juga berbeda dari genus Canis, ditandai dengan degenerasi pada gigi geraham bawah terakhir, gigi taring yang lebih sempit, serta gigi premolar yang secara proporsional lebih besar, menjadikannya yang terbesar di antara karnivora lainnya, kecuali dubuk.[29] Tumit carnassial M1 bagian bawah iganyana dibedakan oleh satu ujung seperti pisau yang secara signifikan meningkatkan kemampuan gigi untuk memotong mangsa, sehingga memungkinkan mereka mengonsumsi mangsanya dengan cepat. Karakteristik ini, yang dikenal sebagai "trenchant heel", juga ditemukan pada dua spesies canidae lainnya: ajak dan mbetapa.[30] Selain itu, tengkorak spesies ini relatif lebih pendek dan lebih lebar daripada tengkorak canidae lainnya.[26]

Bulu iganyana sangatlah berbeda dengan spesies canidae lainnya. Seluruh tubuhnya ditutupi oleh bulu-bulu kaku yang tak memiliki bulu pelapis bagian dalam.[26] Seiring bertambahnya usia, individu iganyana dewasa secara bertahap kehilangan bulunya. Itu membuat individu yang lebih tua terlihat hampir telanjang (tak memiliki bulu).[31] Warna-warna pada iganyana sangat bervariasi dan berfungsi sebagai alat identifikasi visual. Mereka dapat mengenali satu sama lain dari jarak 50 hingga 100 meter.[29] Terdapat beberapa variasi geografis dalam warna bulu iganyana; misalnya, spesimen dari timur laut Afrika cenderung memiliki warna hitam dengan bercak kecil putih dan kuning. Di sisi lain, iganyana dari Afrika selatan memiliki warna yang lebih cerah, dengan perpaduan bulu coklat, hitam, juga putih.[30] Pola bulu pada hewan ini terlihat jelas di bagian tubuh dan kakinya. Di wajah, terdapat sedikit variasi; moncongnya berwarna hitam yang secara perlahan berubah menjadi cokelat di area pipi dan dahi. Garis hitam membentang dari dahi hingga belakang telinga, dan di belakang telinga, warna tersebut bertransisi menjadi cokelat kehitaman. Beberapa spesimen juga menunjukkan tanda berbentuk tetesan air mata berwarna cokelat di bawah mata. Sementara itu, bagian kepala dan leher umumnya didominasi oleh warna cokelat atau kuning. Terkadang, muncul bercak putih di belakang kaki depan, dan beberapa di antaranya memiliki kaki depan, dada, serta tenggorokan yang sepenuhnya berwarna putih. Di bagian ekor, biasanya terdapat gradasi warna yang menarik: putih di ujung, hitam di bagian tengah, dan coklat di pangkalnya. Namun, ada juga beberapa spesimen yang mungkin tidak memiliki ujung ekor berwarna putih, atau bahkan memiliki bercak hitam di bawah ujung putih tersebut. Pola bulu pada ekor ini dapat bersifat asimetris, di mana corak pada sisi kiri tubuh sering kali berbeda dari corak di sisi kanan tubuh.[29]

Agihan dan habitat

[sunting | sunting sumber]

Iganyana paling banyak ditemukan di Afrika Selatan dan Afrika Timur.[2] Mereka jarang terlihat di Afrika Utara dan hampir tidak ada di Afrika Barat, dengan satu-satunya populasi yang mungkin masih tersisa berada di Taman Nasional Niokolo-Koba di Senegal. Sesekali, iganyana juga terlihat di bagian lain Senegal, serta di Guinea dan Mali. Persebaran iganyana di Afrika Timur terbilang tidak merata.[32] Hewan ini umumnya mendiami sabana dan daerah gersang, serta cenderung menghindari area berhutan.[19] Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan berburu mereka yang membutuhkan area terbuka, sehingga memudahkan mereka untuk melihat dengan jelas, juga mempermudah dalam mengejar mangsa.[26] Hewan ini menjelajahi daerah semak-belukar, padang belantara, dan pegunungan untuk berburu mangsanya. Salah satu populasi iganyana telah diidentifikasi di Hutan Harenna, yang terletak pada ketinggian mencapai 2. 400 m (7. 900 kaki) di Pegunungan Bale, Ethiopia.[33] Selain itu, terdapat pula laporan mengenai keberadaan kawanan iganyana yang terlihat di puncak Gunung Kilimanjaro.[19] Di Zimbabwe, spesies ini juga pernah dilaporkan terlihat pada ketinggian 1. 800 m (5. 900 kaki).[34] Di Ethiopia, sejumlah kawanan iganyana dapat ditemukan pada ketinggian antara 1. 900 hingga 2. 800 m (6. 200 hingga 9. 200 kaki). Seekor individu yang mati ditemukan pada bulan Juni 1995 di ketinggian 4. 050 m (13. 290 kaki) di Plato Sanetti.[35] Sementara itu, di Taman Nasional Kruger, populasi iganyana tampak stabil, dengan lebih dari 370 ekor yang menghuni kawasan tersebut.[36]

Perilaku dan ekologi

[sunting | sunting sumber]

Perilaku sosial dan ekologi

[sunting | sunting sumber]
Empat ekor iganyana sedang bermain di Cagar Alam Tswalu Kalahari
Regurgitating food for puppies at den site at Working with Wildlife
Induk iganyana yang sedang memberi makan anak-anaknya

Iganyana memiliki ikatan sosial yang sangat kuat, bahkan lebih kuat dibandingkan singa dan dubuk yang hidup di wilayah yang sama. Karena itu, mereka hampir tidak pernah hidup atau berburu secara soliter.[37] Hewan ini hidup dalam kawanan tetap yang berisi antara dua hingga 27 individu, termasuk iganyana dewasa dan anakan yang berusia sekitar satu tahun. Di Taman Nasional Kruger dan Maasai Mara, kawanan biasanya terdiri dari empat hingga lima iganyana dewasa. Sementara itu, di Suaka Margasatwa Moremi dan Suaka Margasatwa Selous, kawanan umumnya lebih besar, terdiri dari delapan hingga sembilan individu. Dalam beberapa kasus, kawanan yang lebih besar pernah diamati, dan pada musim tertentu, ratusan iganyana bisa berkumpul sementara untuk mengikuti migrasi besar-besaran kawanan springbok di Afrika bagian selatan.[38] Spesies ini memiliki struktur sosial yang memisahkan hierarki antara jantan dan betina. Kawanan betina biasanya dipimpin oleh betina tertua, sedangkan kawanan jantan bisa dipimpin oleh pejantan tertua, meskipun posisinya bisa digantikan oleh jantan yang lebih muda. Oleh sebab itu, dalam satu kawanan iganyana kadang ditemukan pejantan tua yang pernah menjadi pemimpin. Umumnya, hanya pasangan dominan yang memiliki hak untuk berkembang biak.[29] Berbeda dari kebanyakan karnivor sosial lainnya, pejantan iganyana tetap tinggal di kawanan tempat mereka lahir, sedangkan betina akan meninggalkan kawanannya untuk bergabung dengan kawanan lain. Pola ini juga ditemukan pada beberapa primata, seperti gorila, simpanse, dan kolobus merah. Selain itu, jumlah pejantan dalam satu kawanan iganyana biasanya jauh lebih banyak daripada betina, dengan rasio sekitar 3:1 (tiga banding satu).[19] Betina yang meninggalkan kawanan tempat ia dilahirkan akan bergabung dengan kawanan lain dan menggantikan beberapa betina yang masih memiliki hubungan keluarga dekat dengan anggota kawanan tersebut. Cara ini membantu mencegah kawin sedarah, sekaligus memberi kesempatan bagi betina yang digantikan untuk mencari kawanan baru dan berkembang biak.[29] Sedangkan pejantan jarang berpindah kawanan. Jika mereka melakukannya, mereka hampir selalu ditolak oleh kelompok lain yang sudah ada pejantan.[19] Walau iganyana dikenal sebagai spesies canidae yang paling sosial, mereka tidak memiliki ekspresi wajah atau gerak tubuh yang rumit seperti serigala abu-abu. Hal ini kemungkinan karena struktur sosial mereka yang tidak terlalu kaku atau hierarkis. Selain itu, mereka berbeda dengan serigala yang membutuhkan ekspresi wajah rumit untuk mempererat kembali hubungan sosial setelah lama berpisah, iganyana tidak terlalu membutuhkan bentuk komunikasi nonverbal tersebut. Hal ini disebabkan oleh sifat mereka yang cenderung tetap bersama dalam kawanannya untuk waktu yang lama.[9] Spesies ini menghasilkan beragam suara, antara lain kicauan, rengekan, lenguhan, pekikan, bisikan, gonggongan (yang berbeda dari gonggongan anjing), geraman, lengkingan, gemuruh, rintihan, erangan, hingga suara "huu" khas mereka.[39]

Populasi iganyana di wilayah benua Afrika bagian timur diketahui tidak memiliki musim kawin yang tetap. Sebaliknya, populasi yang berada di Afrika bagian selatan umumnya berkembang biak pada periode antara April hingga Juli.[37] Selama masa birahi, seekor betina biasanya didampingi secara intens oleh satu pejantan, yang menjaga agar pejantan lain tidak mendekat.[19] Masa birahi pada iganyana dapat berlangsung hingga 20 hari.[40] Ikatan kopulasi (gancet) yang umum terjadi pada sebagian besar spesies canidae dilaporkan tidak ada, [41] atau hanya berlangsung sangat singkat (kurang dari satu menit)[42] pada iganyana. Hal ini kemungkinan merupakan adaptasi terhadap lingkungan yang banyak dihuni predator besar.[43] Masa gestasi berlangsung antara 69 hingga 73 hari, dan jarak antar kehamilan biasanya sekitar 12 hingga 14 bulan. Iganyana menghasilkan lebih banyak anak dibandingkan spesies canidae lainnya, dengan satu kali melahirkan bisa menghasilkan sekitar enam hingga 16 anak, dengan rata-rata sekitar 10 anak. Ini menunjukkan bahwa satu betina saja bisa menghasilkan cukup anak untuk membentuk kawanan baru setiap tahunnya. Karena sulit bagi satu kawanan untuk mendapatkan cukup makanan guna mendukung lebih dari dua kawanan anak, maka hanya betina dominan yang diizinkan berkembang biak. Betina dominan bahkan bisa membunuh anak-anak dari betina bawahan. Setelah melahirkan, induk iganyana akan tetap berada di dekat anak-anaknya di dalam liang, sementara anggota kawanan lainnya berburu. Selama beberapa minggu pertama, induk cenderung melindungi anak-anaknya dengan mengusir anggota kawanan lain yang mencoba mendekat, hingga anak-anak cukup besar untuk mulai mengonsumsi makanan padat pada usia tiga hingga empat minggu. Sekitar usia tiga minggu, anak-anak mulai meninggalkan liang dan disusui di luar. Mereka disapih pada usia sekitar lima minggu, saat mulai diberi makan daging yang dimuntahkan oleh anggota kawanan lainnya. Pada usia sekitar tujuh minggu, anak iganyana mulai menunjukkan ciri-ciri fisik yang menyerupai individu dewasa, seperti perpanjangan pada kaki, moncong, dan telinga. Ketika mencapai usia delapan hingga sepuluh minggu, kawanan akan meninggalkan sarang, dan anak-anak iganyana mulai bergabung dengan individu dewasa dalam aktivitas berburu. Selama tahap awal ini, anak-anak iganyana mendapatkan prioritas untuk mengakses makanan hasil buruan, namun hak tersebut umumnya berakhir setelah mereka memasuki usia satu tahun.[19] Rata-rata harapan hidup iganyana di habitat alaminya berkisar antara 10 hingga 11 tahun.[44]

Jika seekor individu terpisah dari kelompoknya, ia dapat mengalami kondisi stres berat yang dikenal sebagai sindrom takotsubo (patah hati), yang dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.[45][46]

Rasio jantan dan betina

[sunting | sunting sumber]

Rasio sekawanan iganyana biasanya memiliki jumlah pejantan yang lebih banyak dibanding dengan betina. Itu dikarenakan oleh kebiasaan jantan muda iganyana yang hampir keseluruhan memilih tinggal di kawanan tempat mereka dilahirkan, sementara betina muda iganyana akan keluar dari kawanannya dan mencari kawanan lain untuk dijadikan tempat tinggal mereka yang baru saat mereka dewasa. Perbedaan rasio ini dapat dilihat juga pada pola kelahiran. Biasanya betina muda akan melahirkan anakan berjenis kelamin jantan pada kelahiran perdana. Kemudian pada kelahiran kali kedua, rasio anakan yang dilahirkan cenderung seimbang antara anakan jantan maupun betina. Lalu pada kelahiran berikutnya, anakan yang dihasilkan akan didominasi oleh betina. Pola ini makin menjadi jelas, seiring bertambahnya usia induk. Dengan adanya pola ini, kawanan iganyana menjadi sangat terbantu: anakan jantan yang dilahirkan lebih awal menjadi pemburu yang andal, sementara anakan betina yang keluar dan meninggalkan kelompok asalnya turut andil dalam menjaga kestabilan kawanan agar tidak membeludak.[47]

Bersin sebagai cara komunikasi dan pengambilan keputusan

[sunting | sunting sumber]
Sekawanan iganyana di Taman Nasional Kruger

Iganyana yang hidup di Delta Okavango menunjukkan perilaku sosial unik sebelum memulai perburuan, yaitu dengan melakukan semacam "rapat kelompok" atau pengumpulan. Tidak semua pengumpulan berujung pada keberangkatan, namun peluang kawana untuk berangkat meningkat jika semakin banyak individu yang bersin. Bersin ini berupa hembusan napas pendek dan tajam melalui lubang hidung.[48] Jika bersin pertama datang dari individu dominan, terutama pasangan pejantan atau betina dominan, maka tiga kali bersin balasan saja sudah cukup untuk mendorong seluruh kelompok untuk pergi berburu. Sebaliknya, jika bersin pertama berasal dari individu yang kurang dominan, dibutuhkan lebih banyak partisipasi, yakni sekitar sepuluh kali bersin, agar keputusan untuk berangkat diambil. Peneliti menemukan bahwa bersin digunakan sebagai bentuk isyarat suara, yang berfungsi seperti "voting" atau pengambilan suara, untuk membantu kelompok menentukan kapan waktu yang tepat untuk berburu.[48]

Iganyana kini menghadapi ancaman yang sangat serius akibat fragmentasi habitat yang disebabkan oleh konflik antara manusia dan satwa liar, penyebaran penyakit, serta tingginya angka kematian. Hewan ini telah punah di sebagian besar wilayah Afrika Utara dan Barat, sementara populasinya mengalami penurunan yang signifikan di Afrika Tengah, Uganda, dan sebagian besar daerah di Kenya.[2] Sebuah survei yang dilakukan di daerah Chinko, Republik Afrika Tengah, menunjukkan bahwa populasi iganyana menyusut dari 160 ekor pada tahun 2012 menjadi hanya 26 ekor pada tahun 2017. Pada saat yang sama, penggembala transhumans (jenis nomadisme) pastoralisme dari perbatasan Sudan mulai berpindah ke daerah tersebut dengan membawa ternak mereka.[49]

Konservasi

[sunting | sunting sumber]

Organisasi non-pemerintah African Wild Dog Conservancy (Konservasi Iganyana), mulai beroperasi pada tahun 2003 dengan misi untuk melestarikan spesies ini di wilayah timur laut dan pesisir Kenya. Area ini merupakan salah satu titik pertemuan keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Sebagian besar wilayah tersebut terdiri dari lahan milik masyarakat yang dihuni oleh para penggembala. Dengan dukungan dari masyarakat setempat, sebuah studi percontohan dilakukan untuk memastikan keberadaan populasi iganyana yang sebelumnya kurang dikenal oleh para konservasionis.[50] Selama 16 tahun berikutnya, pengetahuan mengenai ekologi lokal mengungkapkan bahwa daerah ini berfungsi sebagai tempat perlindungan penting bagi iganyana, serta sebagai koridor vital bagi satwa liar yang menghubungkan Taman Nasional Tsavo di Kenya dengan Tanduk Afrika, di tengah lanskap yang semakin dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Proyek ini telah diakui sebagai prioritas dalam upaya konservasi iganyana oleh IUCN/SSC Canid Specialist Group.[51][52]

Iganyana dalam kebudayaan

[sunting | sunting sumber]

Mesir Prasejarah

[sunting | sunting sumber]
Palet kosmetik dari masa Naqada III yang menggambarkan iganyana, Louvre.

Penggambaran iganyana terlihat dengan jelas pada palet kosmetik dan artefak lainnya dari periode Mesir prasejarah. Ini mungkin melambangkan keteraturan yang mengalahkan kekacauan, serta menunjukkan transisi antara iganyana dan anjing peliharaan. Para pemburu di era predinasti tampaknya mengidentifikasi diri mereka dengan iganyana, seperti yang ditunjukkan dalam Palet Pemburu, di mana mereka mengenakan ekor hewan tersebut sebagai bagian dari ikat pinggang mereka. Namun, pada masa dinasti, ilustrasi iganyana semakin jarang muncul, dan peran simbolis hewan ini sebagian besar digantikan oleh serigala.[53][54]

Menurut Enno Littmann, masyarakat di Wilayah Tigray, Ethiopia, memiliki kepercayaan bahwa jika mereka melukai iganyana dengan tombak, hewan itu akan mencelupkan ekornya ke dalam lukanya dan mengibaskan darahnya ke arah penyerang, yang dapat mengakibatkan kematian seketika. Oleh karena itu, para gembala Tigrean biasanya memilih untuk mengatasi serangan iganyana degnan menggunakan kerikil, daripada senjata tajam.[55]

Iganyana juga memiliki peranan penting dalam mitologi suku San di Afrika Selatan. Dalam sebuah kisah, ia secara tidak langsung terkait dengan asal usul kematian. Dalam cerita tersebut, kelinci dikutuk oleh bulan setelah menolak janji bulan yang akan mengizinkan semua makhluk hidup dilahirkan kembali setelah meninggal. Akibatnya, kelinci kini terpaksa diburu oleh iganyana selamanya.[56] Cerita lain mengisahkan bahwa dewa ǀKaggen membalas dendam kepada dewa-dewa lain dengan mengirimkan sekelompok orang yang dapat berubah wujud menjadi iganyana untuk menyerang mereka. Namun, hasil dari pertarungan tersebut tidak pernah terungkap.[57] Suku San di Botswana menganggap iganyana sebagai pemburu utama dan secara tradisional percaya bahwa dukun dan pengobat (orang) memiliki kemampuan untuk mengubah diri mereka menjadi hewan ini. Beberapa pemburu suku San memiliki tradisi khusus sebelum berburu, yaitu mengoleskan cairan tubuh iganyana di kaki mereka. Mereka meyakini bahwa cara ini akan memberikan keberanian dan kelincahan yang sama seperti hewan tersebut. Walau demikian, iganyana tidak banyak muncul dalam seni cadas suku San. Satu-satunya contoh penting yang ada adalah lukisan dinding di Gunung Erongo, yang menggambarkan sekelompok iganyana sedang berburu dua ekor antelop.[57]

Suku Ndebele

[sunting | sunting sumber]

Suku Ndebele memiliki sebuah kisah yang menjelaskan mengapa iganyana berburu secara berkelompok. Dahulu kala, ketika istri tertua iganyana mengalami sakit, semua hewan di sekitarnya merasakan kepedihan yang mendalam. Dalam situasi tersebut, seekor impala datang pada kelinci, yang dikenal sebagai dukun. Kelinci memberikan impala sebuah labu berisi obat, sambil memperingatkan agar ia tidak kembali ke sarang iganyana. Akan tetapi, ketika impala sedang membawa obat tersebut, ia terkejut oleh aroma macan tutul dan tanpa sadar berbalik arah, sehingga menjatuhkan obat yang dibawanya.

Tak lama kemudian, seekor zebra pergi menemui kelinci lalu ia diberikan obat serta nasihat yang serupa dengan nasihat yang diberikan kepada impala. Namun, dalam perjalanannya, zebra juga terkejut melihat seekor mamba hitam dan secara tidak sengaja mematahkan labu obat yang dibawanya. Dalam sekejap, terdengar raungan yang mengerikan: istri tertua iganyana telah tiada. Iganyana yang mendengar suara itu segera keluar dan diluar tampak di matanya zebra sedang berdiri di atas labu obat yang telah hancur. Iganyana pun geram, ia beserta keluarganya langsung mengejar zebra dan mencabik-cabiknya.

Hingga hari ini, iganyana terus berburu zebra dan impala sebagai bentuk balas dendam atas kegagalan mereka dalam menyelamatkan istri tertuanya.[58]

Dalam media

[sunting | sunting sumber]

Film dokumenter

[sunting | sunting sumber]
  • "A Wild Dog's Tale" (2013) menceritakan kisah seekor iganyana bernama Solo, yang menjadi objek penelitian. Di kawasan Okavango, Solo menjalin persahabatan dengan dubuk dan jakal, dan mereka sering berburu bersama. Menariknya, Solo juga berperan dalam memberi makan anak-anak jakal tersebut.[59][60]
  • Serial "The Pale Pack: Savage Kingdom" Season 1 yang tayang perdana pada tahun 2016 mengisahkan tentang pasangan pemimpin kawanan iganyana di Botswana, Teemana dan Molao. Disutradarai dan ditulis oleh Brad Bestelink, serial ini dinarasikan dengan suara khas oleh Charles Dance dan ditayangkan di National Geographic.[61][62]
  • Serial TV "Dynasties" (2018), episode 4, yang diproduksi oleh Nick Lyon, mengisahkan tentang Tait, induk betina tua dari sekelompok iganyana yang tinggal di Taman Nasional Mana Pools, Zimbabwe. Kawanan Tait terpaksa diusir dari teritorinya oleh Blacktip, anak perempuan Tait yang kini memimpin kawanan saingan yang terdiri dari 32 ekor. Blacktip membutuhkan lebih banyak ruang untuk keluarganya yang terus berkembang. Seiring berjalannya waktu, wilayah iganyana-iganyana ini makin menyusut akibat pengaruh manusia serta kehadiran hiena dan singa. Dalam menghadapi situasi yang sulit, Tait mengambil tindakan berani dengan memimpin keluarganya menuju daerah yang dikuasai singa saat kemarau melanda. Selama delapan bulan, kawanan Blacktip terus memburu kawanan Tait. Hingga pada saaat Tait mati, tampak kawanan yang ditinggalkannya melakukan "nyanyian" langka yang menyimpan misteri mengenai arti dari nyanyian tersebut.[63]
  1. ^ Iganyana adalah nama lokal untuk spesies Lycaon pictus yang diambil dari bahasa Ndebele Utara. Nama ini digunakan untuk membedakan spesies tersebut dari terjemahan harfiah dalam bahasa Inggris, yaitu African wild dog yang berarti Anjing liar Afrika. Meskipun dalam bahasa Inggris dikenal juga sebagai Painted wolf atau Serigala lukis, sebenarnya hewan ini bukanlah anjing maupun serigala. Mereka hanya tergolong dalam keluarga canidae yang sama.
  2. ^ Untuk kumpulan referensi pendukung yang lengkap, lihat catatan (a) di phylotree di Evolusi serigala#Anjing mirip serigala

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama MN_R
  2. ^ a b c d Woodroffe, R.; Sillero-Zubiri, C. (2020). "Lycaon pictus": e.T12436A166502262. doi:10.2305/IUCN.UK.2020-1.RLTS.T12436A166502262.en. 
  3. ^ a b Temminck, C. J. (1820). "Sur le genre hyena, et description d'une espèce nouvelle, découverte en Afrique". Annales générales des sciences physiques. 3: 46–57. 
  4. ^ Kiniry, Laura (12 Februari 2025). "What's the Difference Between Hyenas and African Wild Dogs?". Wine and Wild Dogs. Diarsipkan dari versi asli tanggal 08 Maret 2025. Diakses tanggal 08 Maret 2025. 
  5. ^ Forkel, Robert. "i-ganyana". Tsammalex. Diarsipkan dari versi asli tanggal 06 Maret 2025. Diakses tanggal 06 Maret 2025. 
  6. ^ ""wild dogs"; what's in a name?…a rose by any other name would smell as sweet…". Wine and Wild Dogs. Diarsipkan dari versi asli tanggal 06 Maret 2025. Diakses tanggal 06 Maret 2025. 
  7. ^ Smith, C. H. (1839). Dogs, W.H. Lizars, Edinburgh, p. 261–269
  8. ^ Bothma, J. du P. & Walker, C. (1999). Larger Carnivores of the African Savannas, Springer, pp. 130–157, ISBN 978-3-540-65660-9
  9. ^ a b Clutton-Brock, J.; Corbet, G. G.; Hills, M. (1976). "A review of the family Canidae, with a classification by numerical methods". Bull. Br. Mus. (Nat. Hist.). 29: 119–199. doi:10.5962/bhl.part.6922alt=Dapat diakses gratis. 
  10. ^ Fosil iganyana yang tertua diperkirakan berasal dari sekitar 200.000 tahun yang lalu dan ditemukan di Gua HaYonim, Israel.<ref>Stiner, M. C.; Howell, F. C.; Martınez-Navarro, B.; Tchernov, E.; Bar-Yosef, O. (2001). "Outside Africa: Middle Pleistocene Lycaon from Hayonim Cave, Israel" (PDF). Bollettino della Societa Paleontologica Italiana. 40 (2): 293–302.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Chavez2019" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  11. ^ Moulle, P.E.; Echassoux, A.; Lacombat, F. (2006). "Taxonomie du grand canidé de la grotte du Vallonnet (Roquebrune-Cap-Martin, Alpes-Maritimes, France)". L'Anthropologie. 110 (#5): 832–836. doi:10.1016/j.anthro.2006.10.001. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 March 2012. Diakses tanggal 2008-04-28.  (in French)
  12. ^ Baryshnikov, Gennady F (2012). "Pleistocene Canidae (Mammalia, Carnivora) from the Paleolithic Kudaro caves in the Caucasus". Russian Journal of Theriology. 11 (#2): 77–120. doi:10.15298/rusjtheriol.11.2.01alt=Dapat diakses gratis. 
  13. ^ Cherin, Marco; Bertè, Davide F.; Rook, Lorenzo; Sardella, Raffaele (2013). "Re-Defining Canis etruscus (Canidae, Mammalia): A New Look into the Evolutionary History of Early Pleistocene Dogs Resulting from the Outstanding Fossil Record from Pantalla (Italy)". Journal of Mammalian Evolution. 21: 95–110. doi:10.1007/s10914-013-9227-4. 
  14. ^ Wang, Xiaoming; Tedford, Richard H.; Dogs: Their Fossil Relatives and Evolutionary History. New York: Columbia University Press, 2008.
  15. ^ a b Hartstone-Rose, A.; Werdelin, L.; De Ruiter, D. J.; Berger, L. R.; Churchill, S. E. (2010). "The Plio-pleistocene ancestor of Wild Dogs, Lycaon sekowei n. sp". Journal of Paleontology. 84 (2): 299–308. Bibcode:2010JPal...84..299H. doi:10.1666/09-124.1. 
  16. ^ Enenkel, K.A.E.; Smith, P. J. (2014). Zoology in Early Modern Culture: Intersections of Science, Theology, Philology, and Political and Religious Education: Intersections of Science, Theology, Philology, and Political and Religious Education. Brill. hlm. 83. ISBN 978-90-04-27917-9. 
  17. ^ Gopalakrishnan, Shyam; Sinding, Mikkel-Holger S.; Ramos-Madrigal, Jazmín; Niemann, Jonas; Samaniego Castruita, Jose A.; Vieira, Filipe G.; Carøe, Christian; Montero, Marc de Manuel; Kuderna, Lukas; Serres, Aitor; González-Basallote, Víctor Manuel; Liu, Yan-Hu; Wang, Guo-Dong; Marques-Bonet, Tomas; Mirarab, Siavash; Fernandes, Carlos; Gaubert, Philippe; Koepfli, Klaus-Peter; Budd, Jane; Rueness, Eli Knispel; Heide-Jørgensen, Mads Peter; Petersen, Bent; Sicheritz-Ponten, Thomas; Bachmann, Lutz; Wiig, Øystein; Hansen, Anders J.; Gilbert, M. Thomas P. (2018). "Interspecific Gene Flow Shaped the Evolution of the Genus Canis". Current Biology. 28 (21): 3441–3449.e5. Bibcode:2018CBio...28E3441G. doi:10.1016/j.cub.2018.08.041. PMC 6224481alt=Dapat diakses gratis. PMID 30344120. 
  18. ^ Wozencraft, W. C. (2005-11-16). Wilson, D. E., and Reeder, D. M. (eds), ed. Mammal Species of the World (edisi ke-3rd edition). Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-8221-4. 
  19. ^ a b c d e f g h i Estes, Richard (1992). The behavior guide to African mammals: including hoofed mammals, carnivores, primates (edisi ke-1. paperback print). Berkeley, Calif.: Univ. of California Pr. ISBN 978-0-520-08085-0.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "estes1992" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  20. ^ a b c Bryden, H. A. (1936), Wild Life in South Africa, George G. Harrap & Company Ltd., pp. 19–20
  21. ^ Thomas, Oldfield; Wroughton, R.C. (1907). "XLIII.—New mammals from Lake Chad and the Congo, mostly from the collections made during the Alexander-Gosling expedition". Magazine of Natural History. 19: 375. 
  22. ^ Victor Montoro (14 July 2015). "Lions, cheetahs, and wild dogs dwindle in West and Central African protected areas". Mongabay. Diakses tanggal 10 January 2016. 
  23. ^ "West African wild dog". Zoological Society of London (ZSL) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-05-03. 
  24. ^ Edwards, J. (2009). Conservation genetics of African wild dogs Lycaon pictus (Temminck, 1820) in South Africa (Tesis Magister Scientiae). Pretoria: University of Pretoria. https://repository.up.ac.za/handle/2263/29439. 
  25. ^ Woodroffe, Rosie; Ginsberg, Joshua R. (April 1999). "Conserving the African wild dog Lycaon pictus. II. Is there a role for reintroduction?". Oryx. 33 (2): 143–151. doi:10.1046/j.1365-3008.1999.00053.xalt=Dapat diakses gratis.  See p 147.
  26. ^ a b c d Rosevear, D. R. (1974). The carnivores of West Africa. London : Trustees of the British Museum (Natural History). pp. 75–91. ISBN 978-0-565-00723-2.
  27. ^ McNutt, J. W. (1996). "Adoption in African wild dogs, Lycaon pictus". Journal of Zoology. 240 (1): 163–173. doi:10.1111/j.1469-7998.1996.tb05493.x. 
  28. ^ Castelló, J. R. (2018). Canids of the World: Wolves, Wild Dogs, Foxes, Jackals, Coyotes, and Their Relatives. Princeton University Press. pp.230
  29. ^ a b c d e Creel, Scott; Creel, Nancy Marusha (2002). The African Wild Dog: Behavior, Ecology, and Conservation. Princeton University Press. hlm. 1–11. ISBN 978-0-691-01654-2. 
  30. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama iucn2004
  31. ^ Pole, A.; Gordon, I. J.; Gorman, M. L.; MacAskill, M. (2004). "Prey selection by African wild dogs (Lycaon pictus) in southern Zimbabwe". Journal of Zoology. 262 (2): 207–215. doi:10.1017/s0952836903004576. 
  32. ^ Fanshawe, J. H.; Ginsberg, J. R.; Sillero-Zubiri, C.; Woodroffe, R. (1997). "The Status and Distribution of Remaining Wild Dog Populations". Dalam Woodroffe, R.; Ginsberg, J.; MacDonald, D. Status Survey and Conservation Plan: The African Wild DogAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Gland: IUCN/SSC Canid Specialist Group. hlm. 11–56. ISBN 978-2-8317-0418-0. 
  33. ^ Dutson, Guy; Sillero-Zuberi, Claudio (2005). "Forest-dwelling African wild dogs in the Bale Mountains, Ethiopia" (PDF). Canid News. 8 (3): 1–6. 
  34. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama chimimba2005
  35. ^ Malcolm, J. R.; Sillero-Zubiri, C. (2001). "Recent records of African wild dogs (Lycaon pictus) from Ethiopia". Canid News. 4. 
  36. ^ Nicholson, S. K.; Marneweck, D. G.; Lindsey, P. A.; Marnewick, K.; Davies-Mostert, H. T. (2020). "A 20-year review of the status and distribution of African Wild Dogs (Lycaon pictus) in South Africa". African Journal of Wildlife Research. 50 (1): 8. Bibcode:2020AfJWR..50....8N. doi:10.3957/056.050.0008alt=Dapat diakses gratis. hdl:2263/82809alt=Dapat diakses gratis. 
  37. ^ a b Kingdon, J. (1988). East African mammals: an atlas of evolution in Africa. (( Volume 3, Part 1)). Chicago: University of Chicago Press. hlm. 36–53. ISBN 978-0-226-43721-7. 
  38. ^ Nowak, R. M. (2005). Walker's Carnivores of the World. Baltimore: Johns Hopkins Press. hlm. 112. ISBN 978-0-8018-8032-2. 
  39. ^ Robbins, R. L. (2000). "Vocal communication in free-ranging African Wild Dogs (Lycaon pictus)". Behaviour. 137 (10): 1271–1298. doi:10.1163/156853900501926. JSTOR 4535774. 
  40. ^ Solomon, N. G.; French, J. A. (1997). Cooperative Breeding in Mammals. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-45491-9. 
  41. ^ Kleiman, D. G. (1967). "Some aspects of social behavior in the Canidae". American Zoologist. 7 (2): 365–372. doi:10.1093/icb/7.2.365alt=Dapat diakses gratis. 
  42. ^ Creel, S. (1998). "Social organization and effective population size in carnivores". Dalam Caro, T. M. Behavioral ecology and conservation biology. Oxford University Press. hlm. 246–270. ISBN 978-0-19-510490-5. 
  43. ^ Kleiman, D.G.; Eisenberg, J. F. (1973). "Comparisons of canid and felid social systems from an evolutionary perspective". Animal Behaviour. 21 (4): 637–659. doi:10.1016/S0003-3472(73)80088-0. PMID 4798194. 
  44. ^ Allen, M. M.; Allen, C. "Lycaon pictus (African wild dog)". Animal Diversity Web. Diakses tanggal 2022-12-20. 
  45. ^ "Dogs in the Wild: Defending Wild Dogs ~ How Wild Dogs Recover from 'Broken Hearts'". PBS Nature. 2023. Diakses tanggal February 23, 2023. 
  46. ^ "Dogs in the Wild: Defending Wild Dogs". PBS Nature. 2023. Diakses tanggal February 23, 2023. 
  47. ^ Creel, S.; Creel, N. M. (2019). The African Wild Dog: Behavior, Ecology, and Conservation. Princeton: Princeton University Press. hlm. 158. ISBN 978-0-691-20700-1. 
  48. ^ a b Walker, R. H.; King, A. J.; McNutt, J. W.; Jordan, N. R. (2017). "Sneeze to leave: African wild dogs (Lycaon pictus) use variable quorum thresholds facilitated by sneezes in collective decisions". Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. 284 (1862): 20170347. doi:10.1098/rspb.2017.0347. PMC 5597819alt=Dapat diakses gratis. PMID 28878054. 
  49. ^ Äbischer, T.; Ibrahim, T.; Hickisch, R.; Furrer, R. D.; Leuenberger, C.; Wegmann, D. (2020). "Apex predators decline after an influx of pastoralists in former Central African Republic hunting zones" (PDF). Biological Conservation. 241: 108326. Bibcode:2020BCons.24108326A. doi:10.1016/j.biocon.2019.108326. 
  50. ^ McCreery, E.K.; Robbins, R.L. (2004). "Sightings of African wild dogs, Lycaon pictus, in southeastern Kenya" (PDF). Canid News. 7 (4): 1–5. 
  51. ^ Sillero-Zubiri, C.; Hoffmann, M.; Macdonald, D.W. (2004). "Canids: Foxes, Wolves, Jackals and Dogs: Status Survey and Conservation Action Plan". Gland, Switzerland and Cambridge, UK: IUCN/SSC Canid Specialist Group, IUCN. hlm. 335–336. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-06. Diakses tanggal 2011-10-04. 
  52. ^ Githiru et al. (2007). African wild dogs (Lycaon pictus) from NE Kenya: Recent records and conservation issues. Zoology Department Research Report. National Museum of Kenya.
  53. ^ Baines, J (1993). "Symbolic roles of canine figures on early monuments". Archéo-Nil: Revue de la société pour l'étude des cultures prépharaoniques de la vallée du Nil. 3: 57–74. doi:10.3406/arnil.1993.1175. 
  54. ^ Hendrickx, S. (2006). The dog, the Lycaon pictus and order over chaos in Predynastic Egypt. [in:] Kroeper, K.; Chłodnicki, M. & Kobusiewicz, M. (eds.), Archaeology of Early Northeastern Africa. Studies in African Archaeology 9. Poznań: Poznań Archaeological Museum: 723–749.
  55. ^ Littman, Enno (1910). "Publications of the Princeton Expedition to Abyssinia", vol. 2. Leyden : Late E. J. Brill. pp. 79–80
  56. ^ "Culture Out of Africa". www.dhushara.com. Diakses tanggal 2019-03-03. 
  57. ^ a b De la Harpe R. & De la Harpe, P. (2010). ‘In search of the African wild dog: the right to survive’. Sunbird p. 41. ISBN 978-1-919938-11-0.
  58. ^ Greaves, Nick (1989). When Hippo was Hairy and other tales from Africa. Bok Books. hlm. 35–38. ISBN 978-0-947444-12-9. 
  59. ^ "National Geographic TV Shows, Specials & Documentaries". National Geographic Channel (dalam bahasa Inggris). 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 September 2014. 
  60. ^ "The Amazing Story of Solo, the African Wild Dog Who Lost Her Pack (Video)". The Safarist. 20 December 2014. 
  61. ^ "INTERVIEW: 'Savage Kingdom' returns with wild, wild drama". Hollywood Soapbox. 23 November 2017. Diakses tanggal 9 January 2020. 
  62. ^ "The Pale Pack". National Geographic (dalam bahasa Inggris). 17 October 2017. Diakses tanggal 9 January 2020. 
  63. ^ Shaw, Alfie (2019). "Painted wolf singing ritual filmed for first time". BBC Earth (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 November 2020. 

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]